[Freelance] Nightlock 2

poster 55

NightLock [2]

“they’re NightLock. You’ll be dead before they reach your stomach”

Written by

Fleur (@bungasalsaaa)

Main cast:

Im Yoon Ah—Oh Sehun

Wuyifan (kris) – Xi Luhan – Kim Jongin – Jessica Jung

Genre :

Action – Romance

PG-17 

 

***

“kau mencintaiku.”

Huh? Aku bingung setengah mati, aku kembali mengintip dari teleskop senapan dan mendapati wanita itu—Yoona menatapku dari balik kaca transparan dengan manik kembarnya yang terhunus tepat padaku, tatapannya sendu. Padahal aku yakin sebelumnya seseorang bahkan semut sekalipun tidak bisa melihatku di sini.

Intercom masih mengeluarkan gemerisik, dan aku melihat Yoona mengeluarkan pulpen mekanik lalu menekan-nekan tombolnya di samping telinga miliknya.

Awalnya aku tidak mengerti lalu di tengah-tengah suara gemerisik aku dapat mendengar suara ‘clik-clik’  yang membentuk sebuah pola.

Aku terdiam, otakku terus berputar mencari tahu apa yang ingin ia sampaikan padaku. Lalu aku menemukan sesuatu, sementara Yoona masih membuat suara  ‘Clik clik’ itu berulang-ulang hingga pada akhirnya aku memecahkan polanya. Sandi morse sederhana yang berkata

MEREKA-MEMBAJAKMU

Huh?

Permainan macam apa ini?
“kau kira aku akan mempercayaimu—nona pembajak?” aku terkekeh lalu menekan trigger sedetik kemudian bersamaan dengan interkomku yang berdengung kembali, membuatku kembali tersentak. Sudut elevasinya jelas melenceng, membuat timah panas melaju liar menembus kaca tebal lalu bersarang di kepala si kakek.

Dan Yoona? Dapat kupastikan ia selamat karena bisa berlari menuruni tangga.

“OH SEHUN! SEHUN! TINGGALKAN TEMPAT ITU SEKARANG!”  interkom kembali pada mode normal, digantikan dengan suara Kris yang jelas panik. Kembali aku memutar bola mata tanpa sadar sembari memasukan kembali senapan pada penghisap debu lalu berjalan cepat menuju elevator.

“aku berniat meninggalkan tempat ini dan mengejar Im Yoona tanpa kau perintah.”

“JANGAN! MEREKA—“

“aku tak peduli.” Dan aku masuk kedalam bilik elevator. Tanpa Kris mungkin itu lebih baik, daripada ia terus mengoceh sepanjang jalan. Aku hendak melepas interkom dari telingaku ketika kata-kata Kris yang keluar kembali membingungkan.

“Masuk kedalam elevator sekarang dan temui Finn di lobby.”

Aku mendongak menatap CCTV di sudut.

“KUBILANG SEKARANG OH SEHUN!”

“aku sedang memandangmu sekarang dari dalam elevator, Kris.”

“huh?”

Kurasa keadaan benar-benar dalam situasi genting karena Kris tidak memberikan respon yang seharusnya ketika bawahannya memanggil dirinya dengan nama kecil, yang ada malah keheningan dan tiga detik kemudian lampu elevator berkedip-kedip diikuti pergerakan elevator yang berhenti seketika di lantai 34.

Aku orang dengan gangguan mental namun bisa kusimpulkan elevator—ralat, atau server seluruh gedung ini bisa saja telah dibajak.

“aku tidak bisa melihatmu dimana-mana, kemungkinan—“

“diam Kris aku sedang berfikir.” Ucapku memotong  kalimat Kris dan akhirnya aku dengan resmi melepaskan interkom.

Aku menyenderkan penghisap debu itu di samping lalu kuasaku meraih Sig Saurer dari holster, lantas mendongak—menatap tajam CCTV di sudut, bersumpah akan membunuh siapun yang menerima hunusan tajamku sekarang.

Sedetik kemudian, aku menembakan amunisiku pada CCTV hingga hancur berkeping-keping.

Mereka—yang berada di balik CCTV tidak punya hak melihatku kan?

Kemudian aku mundur satu langkah menghadap pintu satu-satunya elevator, punggungku bahkan menempel pada dinding elevator yang dingin sementara kuasaku yang menggenggam grip handgun dengan erat terangkat, terhunus tepat pada pintu. Telunjukku sudah siap diatas trigger, dan dapat dipastikan siapun orang pertama yang muncul saat pintu elevator ini terbuka—dia akan tewas.

‘TING’

Dan pintu elevator terbuka.

Menampilkan aula bernuansa merah tembaga yang kosong.

Tanpa seseorang yang berdiri di depan elevator seperti yang aku harapkan.

Kenapa mereka membawaku ke aula?

Ke aula kosong?

Tunggu, Apa benar-benar kosong?

Tungkaiku bergerak perlahan kedepan, hendak memeriksa isi aula. Suasana tampak begitu hening, lalu tuts piano mulai dimainkan, lagu klasik yang biasa diputar diacara pernikahan. Aku pernah mendengarnya, mungkin di pernikahan bibiku? Pamanku? Diamlah, Kau bahkan tidak punya keluarga Oh Sehun.

Akibat rasa penasaran, aku menyembulkan kepalaku keluar bilik elevator. Handgun ku tetap dalam posisi waspada, namun yang aku dapati tetap aula kosong—dengan Grand piano tanpa penghuni. Lalu dari mana asal suara itu? Rasanya tidak mungkin bukan lagu itu berasal dari pesta pernikahan yang diadakan di lantai 2?

Saat itu aku hendak melangkah keluar ketika aku merasakan tengkukku tertusuk jarum. Reflek kuasaku bergerak mengambil sesuatu di tengkukku, dan mendapati peluru anestesi disana. Aku mendongak dan langit-langit elevator—yang kutau tak memiliki celah—terbuka lebar, menampilkan dua pria bersenapan ditangannya.

Aku hendak mengarahkan handgun ku pada mereka ketika seluruh otot ku rasanya tidak bisa di gerakan. Seluruh tubuhku serasa lumpuh dan aku merosot kebawah.

Kabar baiknya? aku akan mengingat seumur hidupku bahwa musuh bisa saja membuka langit-langit elevator.

Dan kabar buruknya? Kini semua menjadi hitam.

Yang pertama kali aku lihat di detik pertama membuka mata adalah ubin abu-abu usang di bawah, lalu udara asin dan suara deburan ombak.

Manik kembarku bergerak liar, dan mendapati vas bunga berisi tanah yang basah dinakas tak jauh dari aku berada—tunggu, ini sama percis dengan yang kujumpai di rumah sakit kepolisian!

Hendak aku mengapainya namun kedua tanganku terikat pada senderan kursi yang aku duduki, lalu aku mencoba mendongak namun yang aku rasakan hanya sakit. Aku hendak menggerakan tubuhku—kembali yang kurasakan lebih sakit. Seluruh ototku tak bisa kugerakan sesuai kemaunku, semuanya masih dalam mode lumpuh dan aku terus bertanya-tanya dalam hati anestesi jenis apa yang sebenarnya di berikan padaku.

Aku tak bisa berteriak—bahkan berbicarapun susah, entah karena otot mulutku yang lumpuh atau memang karena kain perekat hitam sialan yang membekap mulutku.

“sudah bangun—jagoan?” sebuah suara menginterupsiku dan aku sama sekali tak punya petunjuk siapa yang bersuara, namun tak banyak yang dapat aku perbuat selain memasang telingku tajam, mendengarkan derap langkah kaki yang semakin mendekat. Lalu beberapa detik kemudian, aku dapat melihat ujung sepatunya tepat didepanku, warnanya hitam dengan noda pasir basah dibeberapa bagian. Detik berikutnya aku terlempar kesamping, membuat rahang kiriku menghantam ubin sementara kuyakin rahang kananku sudah membiru akibat pukulan si pria.

Aku meringis dengan bebas di balik kain perekat sialan ini, karena kutau ringisanku tak akan terdengar keluar. Terjadi hening panjang selama beberapa saat sampai akhirnya si pria tertawa keras, membuatku bingung apakah posisiku sekarang sangat lucu atau semacamnya.

Bersamaan dengan tawa yang kian hilang, derap langkah itu kembali terdengar, lalu kurasakan rambutku ditarik keatas, membuatku mendongak dan dapat meihat manik tajam si pria. Jelas aku tak mengenalnya dan aku balas menatapnya datar.

“ragamu memang Oh Sehun, namun disini—“

Ia menunjuk dadaku.

“kau bukan dia”

Aku masih menatap datar pria dengan kulit sawo matang dan rahang tegas itu, kurasa ia anak gangguan mental yang berada di usia dua puluhan karena sikapnya yang jelas aneh menurutku—ok, aku bukan membicarakan diriku sendiri—. Sesuatu dalam manik nya menyiratkan ia membenciku hingga ingin membunuhku kapan saja sementara aku tak tahu sebenarnya apa salahku. Apakah menjadi seorang polisi adalah sebuah kesalahan? Oh ya tentu saja bagi seorang penjahat.

Oh Sehun kau mulai aneh sama seperti orang itu.

“kau bukan Oh Sehun, kan?”

Normal PoV

“katakan  sesuatu.”

Dan pria itu—Kai, membuka kain perekat hitam dimulut Sehun. Menyuruhnya untuk berbicara. Sehun terdiam sebentar dengan manik tajam sepenuhnya terhunus pada Kai.

“brengsek.”

Jawaban tipikal Sehun, membuat Kai kembali mendaratkan pukulan keras di rahangnya.

“aku tidak bertanya soal ‘jenis’ mu, aku bertanya kau siapa.”

Rahangnya berdenyut nyeri namun Sehun terkekeh disana.

“brengsek.” Kata yang sama keluar dari mulut Sehun untuk kedua kalinya, lantas ia tersenyum lalu memejamkan matanya, siap menerima kembali pukulan dari pria dihadapan yang bahkan ia tidak tau apa masalah dengannya.

Namun pukulan itu tak kunjung datang, alih-alih ia malah mendengar deru nafas seseorang yang semakin kasar.

“lepaskan tanganku, Im Yoona.”

Sontak manik kembar Sehun terbuka sempurna mendengar kalimat yang barusan dilontarkan Kai,  iris di balik kelopak mata itu membesar, memandang wanita dengan gaun yang sama di gedung seni—sedang menggengam pergelangan tangan Kai yang hendak memukulnya.

Wanita dibalik pembajakan otak Sehun kini hanya berjarak kurang dari satu meter di hadapannya. Ini kesempetan emas.

Sehun harus membunuhnya sekarang.

Harus membunuhnya sekarang.

Harus.

Namun seluruh tubuhnya masih belum berpihak padanya, entah sampai kapan dirinya dalam mode lumpuh, Sehun hanya berharap ini tidak akan berlansung selamanya karena sungguh melelahkan.

“Im Yoona…..” masih dalam posisinya di atas ubin, bibir Sehun kembali melontarkan kalimat. Namun si wanita yang di maksud tetap pada posisinya, tak bergerak barang se-senti pun.

Menatap pun tidak.

“Im Yoona!” Sehun berteriak, dan Yoona menghempaskan lengan Kai. Maniknya memandang Kai dengan tajam.

“Kai, ini sudah waktunya makan malam, bukankah kita harus keruang tengah?” tanya Yoona, terjadi hening beberapa detik hingga akhirnya Kai mengangguk lantas kembali membekap mulut Sehun dengan kain perekat yang baru lalu mereka keluar dari ruangan remang tersebut, meninggalkan Sehun yang masih dalam posisinya, diatas ubin dengan kursi yang masih terikat di tubuhnya.

.

.

.

Sehun tak pernah tau pukul berapa sekarang, namun ia yakin ini sudah larut. Karena  pertikaian diluar sana sudah mulai mereda sejak satu jam yang lalu, Sehun juga tak tau sebenarnya apa yang di bicarakan mereka namun ia yakin ini berkaitan dengan dirinya karena ia mendengar namanya di sebut 87 kali dengan frekwensi yang beragam.

Lalu ia mendengar suara kenop pintu yang di putar, dilanjutkan dengan derap langkah kaki ringan seseorang. Sehun berusaha mendongak dan ia sedikit terkejut karena ia mampu melakukannya.

Namun detik ini ia lebih terkejut lagi, manik Sehun seketika menajam ketika raga ‘seseorang’ itu mulai tertangkap iris matanya, seketika pandangannya berubah, seperti singa yang menargetkan seekor rusa di padang rumput.

Berbeda dengan Yoona, gadis itu tampak santai dengan piyama bermotif binatang—sapi dan ulat—motif yang cukup lemah untuk seorang buronan, sama sekali tak menimbulkan tekanan apalagi arti, sapi dan ulat? Yang benar saja, mereka bahkan tidak berhubungan dalam simbiosis yang ekstrem.

Tungkai Yoona bergerak lebih cepat, membantu Sehun kempali pada posisi semula—duduk terikat tanpa pipi yang menyentuh ubin—sang gadis lantas merogoh kantung piyamanya yang sedikit basah, mengambil sebongkah kecil es dari sana.

Kuasanya terangkat mengusap memar dirahang Sehun dengan es, membuat pria itu menegang seketika. Sedikit canggung namun manik tajamnya tetap terhunus pada Yoona sementara manik Yoona sendiri masih fokus pada memar, mengusap memar itu perlahan, seakan-akan pergerakan yang sedikit kasar sekalipun akan menyakiti Sehun.

Memar di rahang Sehun hampir sepenuhnya hilang, dan saat itu akhirnya manik kembar Yoona membalas manik tajam Sehun, membuat Sehun dapat dengan jelas melihat bayangan dirinya di dalam mata jernih sang gadis.

Ini kali pertama Sehun mempunyai buronan dengan mata yang indah.

Dan bibir yang ranum.

Dan rambut yang berbau Rosemary.

Dan—

Dan Yoona tersenyum manis lalu mengecup singkat bibir sehun yang tertutup kain perekat.

“selamat malam, Sehun.”

ia kembali tersenyum, kini kedua pipinya dihiasi semburat merah tampak seperti tomat yang sudah siap dipetik.

dan Sehun ingin memetiknya—

Tidak, ia tidak ingin memetiknya, ia ‘jelas’ ingin memotong pohon tomat sialan itu.

Lalu membawanya ke kamar untuk menemani malamnya—

Tidak.

Sehun menggeleng-gelengkan kepalanya frustasi.

Ia benar-benar butuh psikiaternya sekarang.

Sementara Sehun masih dalam proses mengendalikan mentalnya, Yoona menepuk kepala Sehun dua kali lalu berbalik, berjalan lalu hilang di balik pintu. Meninggalkan Sehun yang menatap ubin dengan tatapan kosong. Dalam hati nya ia terus mengumpat.

‘sialan’

‘sialan’

‘sialan’

Terus berulang-ulang hingga rasa kantuk menyerangnya.

.

.

.

Saat itu dini hari dan seluruh otot Sehun sudah kembali pada semula, sekarang Sehun sedang berusaha melepaskan jeratan tali yang mengikat tangan dan kakinya dengan kursi. Bukan hal sulit untuk seorang agent terlatih seperti dirinya, hanya dengan waktu sepuluh menit dirinya sudah terbebas dari jeratan apapun.

Maniknya berpendar di ruangan persegi berukuran sedang, disini tidak ada CCTV, hanya ruangan kosong penuh perabotan rumah tangga. Sepertinya Sehun benar-benar bebas pengawasan sekarang.

Lantas ia melepas kain perekat di mulutnya dengan paksa, kejadian semalam kembali terulang dikepalanya, bagaimana ia tertegun memandang pantulan dirinya di mata Yoona, bagaimana Yoona mengecup bibirnya, bagaimana—

Sehun menghembuskan nafas kasar sembari meremas kain perekat itu hingga menjadi bola kecil lalu memasukannya ke saku celana. Sekarang dirinya merasa dilecehkan, Bagaimana bisa buronannya mencium bibirnya dengan bebas—ya walau sebenarnya terhalang kain perekat—tapi tetap saja, orang jahat tidak selayaknya bersikap seperti itu.

Ah—apa ini jebakan?

Ia terkekeh sarkastik sembari mengangguk-ngangguk.

lantas ia memeriksa sarung pistol—holster, dan tidak mendapati handgun nya disana, pasti mereka sudah mengamankannya. Lalu bagaimana dengan nightlock? Cepat ia merogoh saku belakang nya dan mendapati mika kecil itu berada disana. Ia tak mengambilnya, rasanya menelan pil itu sekrang bukanlah waktu yang tepat. Sehun sudah sejauh ini dan ia tidak ingin jadi arwah penasaran.

Kemudian ia teringat sesuatu, ia segera membuka sepatunya dan mengambil persegi kecil dengan tombol merah ditengah, itu adalah pemancar radio—kalau ia menekannya, kepolisian pusat akan segera tau lokasinya dan akan langsung mengirimkan bantuan. Lantas apakah ini waktu yang tepat?

Lalu, Sehun kembali mendengar derap langkah kaki, buru- buru dirinya duduk seperti semula lalu mengikat kaki dan tangannya kembali dengan ikatan simpul yang mudah dilepas. Sehun belum punya strategi barang se kalimat pun, maka dari itu berpura-pura masih lumpuh adalah yang terbaik.

Decitan pintu menggema diruangan, dilanjutkan dengan kepala Jessica yang menyembul dari sana—TUNGGU.

Sesuatu amat sangat salah.

“Noona!” teriak Sehun.

“eoh? Kau mengingatku sehun-ah?” wanita itu tampak tersenyum bangga lantas berjalan mendekati Sehun.

“aku tak akan bertanya bagaimana kau bisa membuka kain perekat dimulutmu. Uri Sehun memang terbaik.”

Sehun tertegun dua detik ditempat, otaknya sibuk mencerna apa yang sedang terjadi. Lantas ia membuka seluruh tali simpul ditubuhnya lalu bangkit, berdiri di depan wanita yang hanya sebatas bahunya.

“wow, wow. Aku cukup tercengang kau dapat membuka—“

“ya! Jessica Jung. Jangan bermain-main, kepala ku sakit. sedang apa kau disini?” ujar Sehun.

Kening wanita itu merenggut, membuat kerutan didahi lebarnya.

“J-Jessica Jung? Aku Sooyeon, Sooyeon Jung.”

“Sooyeon?”

“Y-ya”

“sejak kapan kau berganti nama?” Sehun kembali bertanya,

“kurasa aku sudah mendapatkannya sejak lahir.” Jawab Sooyeon dengan sedikit bingung, berbeda dengan Sehun yang kini bingung sepenuhnya. Ia kembali terduduk di kursi lalu memijat pelipisnya. Kini satu-satunya wanita yang ia percaya di kepolisian—mempunyai raga yang lain disini, dengan wajah, suara dan harum yang sama.

“kau baik-baik saja?”

Sehun tak menjawab.

“ya! Oh Sehun jangan acuhkan noona-mu.” Rengek Sooyeon tapi tetap tak membuat Sehun merubah posisinya.

“aku bahkan tak mengenalmu.” Sehun berbicara setelah cukup lama terdiam. Membuat Sooyeon kini menggigit bibir bawahnya, ruangan menjadi lebih hening dari sebelumnya keduanya memilih terlalut dalam pikirannya masing-masing dari pada berinteraksi satu sama lain.

“kau pasti bingung, aku tau—

—bagaimana kalau kita berjalan-jalan, hm? Mungkin itu dapat membuatmu lebih baik.”

Sehun tak menjawab namun maniknya menatap manik Sooyeon yang sedang menatapnya.

“tapi kau harus pakai ini, kami semua takut kau tak bisa mengendalikan dirimu.” Wanita itu mengeluarkan borgol metalik dari saku jeans nya, memperlihatkannya pada Sehun yang hanya menatapnya datar.

Mau disini atau di kepolisan—ia selalu dianggap gila.

“kau tak menjawab, aku artikan sebagai ‘ya’” Sooyeon kembali berujar kini dengan kesimpulannya sendiri yang bahkan tak Sehun bantah. Pria itu dengan pasrah membiarkan kedua tangannya di borgol di depan, tanpa perlawanan seperti orang yang hilang arah.

.

.

.

Sooyeon membawa Sehun ke tepi pantai di depan gedung tak terpakai yang dijadikan tempat tinggal ‘mereka’. Pantai begitu kotor dengan beberapa tulang belulang anjing laut dan entah apa. Disekelilingnya penuh dengan gedung-gedung tua tak layak pakai, begitupun dengan rumput ilalang disekitarnya yang hampir sampai lantai 2, banyak mobil-mobil mewah yang rusak sebagian, atau traktor manual yang hanya punya satu ban. Sejauh mata memandang Sehun tak menemukan makhluk hidup—terkecuali Sooyeon yang berada disampingnya.

Sebenarnya dimana ini?

“kau tak akan bertanya tempat apa ini?” Sooyeon menaikan sebelah alisnya.

“kau akan menjelaskannya.”

Wanita berambut blonde itu pun hanya berdecak mendengar jawaban Sehun lalu kembali berbicara.

“polisi memang dekat dengan kita, namun mereka tak akan pernah menemukan kita—“

“aku polisi, kau buronan. Jangan pakai kata ‘kita’” sergah Sehun membuat Sooyeon terkekeh sembari mengacak rambut Sehun asal, sementara pria itu hanya membalasnya dengan tatapan tajam.

“baiklah, anggap ‘kau’ polisi dan aku buronan’mu’—tempat kami tak akan terlacak, ini kota mati, kota yang tak berpenghuni sejak entah kapan, bahkan sudah hilang dalam peta Korea. ‘kau’ punya paham sejak abad lalu, soal kota mati ini yang tak akan bisa dihuni lagi karena radioaktif yang terpancar dari sebuah tower yang berada di tengah kota. Lalu kami—“

Sooyeon menunjuk dirinya sendiri.

“orang-orang pintar datang kesini dan menjadikan tempat tak berpenghuni ini menjadi tempat kami”

Sehun menoleh pada Sooyeon.

“kalian tidak terkena radiasi?”

“sudah kubilang kami adalah orang-orang pintar—“

“orang pintar yang jahat.” Potong Sehun.

“baiklah orang-orang pintar yang jahat, telah memperhitungkan semua yang akan terjadi. ‘kau’ percaya soal radioaktif yang menyebabkan mutasi gen? Ayolah, itu abad lalu. Dengan serum dan ahli nuklir, sekarang tempat ini bisa ditinggali. Oh Sehun, kau harus tau waktu malam disini, banyak orang bekerja bagai hantu, mereka sebenarnya ada namun tak terlihat. Dan’kau’ terlalu bodoh untuk menyadarinya.”

Sehun terdiam sebentar.

“jadi kau bilang ‘aku’ bodoh karena paham’ku’.”

“you got the point, sir.”

Pantas kepolisian mengalami kesulitan sejak entah kapan menangkap organisasi ini, mereka bekerja dititik yang tak pernah ada dalam list kepolisian. ‘paham’ mereka berbeda, dan ini yang membuat organisasi ini tetap hidup.

“lalu kenapa kau menceritakannya padaku? Kau tau—mungkin aku akan menekan sebuah tombol yang bisa membuat kepolisan tau keberadaanmu.”

“oh seperti yang ada di tanganmu?” tanya Sooyeon sambil menunjuk tangan Sehun yang menggenggam pemancar radio dengan dagunya.

“b-bisa jadi”  Sehun tergagap, sembari memainkan benda itu dengan canggung membuat sang dara kembali terkekeh.

“kau takan melakukannya kalau kau mengingat semuanya, kau bagian dari kami Oh Sehun.”

Manik kembar Sooyeon kini memandang ke arah lautan alih-alih menatap Sehun, berpura-pura tertarik dengan batu karang yang terhempas ombak.

“eonni—“ sebuah suara menginterupsi keduanya, membuat mereka menoleh hampir didetik yang sama. Semalam gadis itu tampak lemah memakai piyama sapi dan ulat, namun kini dengan jeans, kaos dan topi hitam kesan buronannya lebih terasa—minus senyumannya yang masih sama dengan semalam.

“yoong! Sudah kembali? Apa lancar?”

Yoona mengangguk, “penggelapan uang berhasil namun kita sedikit kesulitan saat stampel wapres.—”

“aku polisi.” Potong Sehun, “jangan bicarakan hal kotor didepanku”

“polisi?”

“ya, yoong. Dia ‘polisi’” ujar Sooyeon dengan penekanan di akhir kalimatnya, membuat Yoona mengangguk-angguk mengerti sembari menahan tawa.

.

.

.

Sooyeon butuh istirahat karena semalaman ia begadang, jadi ia menyerahkan Sehun pada Yoona begitupun dengan kunci borgolnya.

“apa ini yang namanya proses pembajakan?” tanya Sehun sarkatik.

“hmm—baiklah kalau pembajakan artinya mengembalikan ingatanmu, mulai sekarang aku pakai kata’pembajakan’. Jadi apa kau akan tetap melanjutkan prosedur pembajakan atau kembali pada kepolisian tuan?” tanya Yoona namun Sehun tidak menjawab dirinya hanya menatap sang gadis dengan datar, tampak lelah untuk bermain dan ingin mati saja.

“baiklah, kau pilih satu atau dua?”

Sehun tetap terdiam.

“satu atau dua?!”

“satu”

“satu adalah kau harus melanjutkan prosedur pembajakan.”

“kalau dua?”

“dua  adalah kau harus melanjutkan prosedur pembajakan.”

Sehun terkekeh, lalu sedetik kemudian kembali dengan tampang datarnya.

.

.

.

Sehun mau saja di ajak berkeliling gedung markas organisasi tersebut, mulai dari dapur, lab, hingga ruang bawah tanah. Namun markas benar-benar tanpa penghuni, sebenarnya kemana mereka semua?

“kau mengingatnya?” tanya Yoona ketika mereka sampai di sebuah kamar bernuansa biru diujung, cukup kecil hingga beberapa berabotan tampak berdesakan. Namun tetap tampak hangat dengan banyaknya ornamen-ornamen yang dibuat sendiri, sang gadis menuntun Sehun masuk kedalam, hingga manik mata Sehun membulat ketika mendapati beberapa fotonya bersama Yoona terpajang di dinding.

Yoona tampak berantakan dengan krim dirambutnya dan Sehun tertawa.

Yoona tertidur dan Sehun mengecup keningnya.

Sehun membawa apel dan Yoona membawa jeruk.

Kai tampak jelek berada di tengah-tengah Sehun dan Yoona.

“benar, itu kau.” Ujar Yoona, jemarinya terulur mengusap bingkai foto yang telah berdebu sementara manik kembarnya tampak berkaca-kaca menatap ke arah foto-foto tersebut.

“Sehun, andai kau tidak pergi waktu itu. Andai aku bisa melindungimu. Andai aku menembakmu tepat dijantung—“ Yoona menoleh, membalas manik Sehun yang sedang menatapnya intens. Kuasanya terangkat, menyentuh tepat luka tembak yang berada di rusuk sebelah kiri.

“kau selalu memintaku berjanji—untuk membunuhmu kalau kau tertangkap polisi. Kau bilang lebih baik mati daripada dibajak. Kau bilang—“ kalimatnya tertahan oleh isak tangis, kini air mata benar-benar mengalir deras membasahi pipi pualamnya. Sehun tak bisa tinggal diam, ia mengambil kunci borgol di saku celana Yoona, lalu membukanya dengan susah payah.

Dengan sedikit ragu kuasa Sehun terangkat, menghapus air mata sang gadis perlahan.

“jangan menangis, buronan tak boleh menangis. Simpan air matamu untuk di pengadilan, hm?”

Mendengar kalimat yang di lontarkan Sehun, Yoona menepis kasar tangan pemuda itu sementara manik kembarnya memberikan tatapan tajam.

“kau bukan polisi Oh Sehun, kau bagian dari kami. Berhenti bertidak seperti mereka!”

Air mata Yoona semakin deras keluar sementara Sehun tetap terdiam.

“kumohon percaya.”

“berikan aku pilihan.”

Yoona menghapus air matanya kasar, “tiga atau empat?”

“empat”

“kau percaya padaku.”

“tiga?”

“kau juga percaya padaku.”

Sehun kembali memborgol tangannya sendiri lalu menyelipkan kuncinya di jemari Yoona.

“aku percaya padamu.”

[TBC]

Makasih banyak yang udah feedback,pokonya sayang kalian sebesar sayang aku sama Sehun(?) maafin lama updatenya abis lagi minggu uts ehehehe.

Q:  Jadi sebenernya Yoona nyoba ngebalikin ingatan Sehun atau emang lagi bajak sih thor?

A : Author juga gatau L

Feedback for next chapter.

 

49 thoughts on “[Freelance] Nightlock 2

  1. Kapan kelanjutanya thor,ini dh hampir 2 tahun loh.padahl ceritanya sangat menarik,,sangat disayangkan klau ngga dilanjutkan,,,

  2. feeling aku sih yoona lagi ngembaliin ingatan sehun. yang berarti pihak kepolisian yg membajak memori sehun..
    oya chingu aku choclorieda dan berganti nama jadi onlyclorieda #justinfo 😀
    oke aku tunggu kelanjutannya ya..
    keep writing ! ^^

  3. Assalamualakum beijing!
    Bung naha ada simbiosis, frekuensi segala macem? 😂😂😂
    Mabok yeuh 😂😂
    Jangan-jangan sehun itu sebenernya anggota geng penjahat… Terus kepolisian berhasil nangkep sehun, dan ngebajak dia, jadi supaya kepolisian bisa ngegali informasi dari sehun? Dan sehun dibikin seolah dia adalah sersan?
    Terus yoona teh mantan pacarnya? Terus mereka teh mau ngebalikin ingatan sehun?

    Wassalamualaikum beijing!

  4. Bang Sehun ingat lagi lah ama Mb Yoona, jgn bikin greget gitu deh…
    Mb Yoona usaha yg keras ya buat ngebajak bang Sehun… Fighting… 😀 Keep writing and FIGHTING thor^^

  5. Sehun tuh komplotan(?) Yoona kan sebenernya apa gimana nih? Aku yakinnya sih dia emang sekomplotan sama Yoona dkk.
    Trus ada jessica di polisi nah ada soyeon yg jg sekomplotan sama Yoona. Nahlohh aku masih penasarannn

  6. Waaah
    Keren bgt thor ffnya!!!
    Duh sehun kok gak balik2 sih ingatannya
    Huwhuwhuw
    Gregetan sendiri bacanya:3
    Semoga di next chapter yoona bisa ngembalikin ingatannya sehun yaaa:’3
    Hehehehe
    Ditunggu chapter slanjutnya ya thor

Leave a reply to NXIVBL Cancel reply